TRADISI PEMAKAMAN DALAM MASYARAKAT SUMBA TIMUR SEBAGAI PENDEKATAN KONTEKSTUAL

Authors

  • Yuliana Lu Institut Injil Indonesia

DOI:

https://doi.org/10.52157/me.v5i2.62

Keywords:

tradisi pemakaman, masyarakat Sumba Timur, pendekatan konstekstual

Abstract

Tuhan menciptakan manusia dengan kemampuan berbudaya, termasuk masyarakat Sumba Timur. Namun di kecenderungan manusia, meekspresikan budaya mereka, tidak bisa dipisahkan dengan ekspresi spiritual mereka, karena manusia memang adalah makhluk spiritual, yang selalu berkerinduan untuk memiliki relasi dengan Sang Pencipta. Berbagai usaha dilakukan manusia, yang biasanya sarat dengan penyembahan berhala. Masyarakat Sumba Timur, juga sarat dengan penyembahan berhala, sejak seorang bayi berada di kandungan ibunya, hingga dia harus meninggalkan dunia ini. Namun bagi  Masyarakat Sumba Timur yang sudah bertobat dan menjadi orang Kristen sebaliknya harus merefleksikan imannya yang relevan dan bermakna bagi masyarakat dan budaya Sumba Timur. Adapun rekomendasi-rekomendasi yang penulis berikan kepada Masyarakat Sumba Timur adalah sebagai berikut: 1) Harus menghindari ritus-ritus yang tidak sesuai dengan Firman Allah. Orang Kristen harus bersikap kritis terhadap budaya-budaya setempat yang merusak iman Kristen. Firman Tuhan harus menjadi tolak ukur etika; 2) Orang Kristen juga harus menjadi saksi yang hidup bagi masyarakat yang masih terlibat dalam upacara pemakaman. Misalnya dalam upacara pemakaman ini, pemukulan gong dengan irama duka bisa dilaksanakan oleh orang Kristen sebagai pertanda bahwa di tempat tersebut terjadi kematian. Tetapi pemukulan gong dengan irama pata lamba yang bertujuan untuk memanggil arwah leluhur (marapu) tidak boleh dilakukan oleh orang Kristen. Pemotongan hewan untuk menjamu makan para keluarga dan kerabat yang datang melayat untuk dimakan, orang Kristen dapat melakukannya. Tetapi pemotongan hewan yang tidak untuk dimakan, namun hanya sebagai simbol mendampingi arwah si mati, atau sebagai bekal si mati menuju alam baka tidak perlu dilakukan oleh orang Kristen, dan gereja harus melarang hal ini karena dari segi ekonomi hal tersebut sangat merugikan, dan dari segi teologis hanyalah menyia-nyiakan berkat Tuhan. Penyimpanan mayat yang terlalu lama dari segi kesehatan tidak menguntungkan, demikian juga dari segi ekonomi sangat merugikan karena membutuhkan biaya yang sangat besar. Sebaliknya seluruh keluarga berembuk dan menyelesaikan pertikaian, yang mungkin ada, dalam waktu yang tidak terlalu lama, agar si mati dapat dikubur cepat. Upacara padita waimata dapat dilakukan oleh orang Kristen dalam bentuk ibadah pengucapan syukur tutup duka. Upacara paludungu (menyampaikan arwah si mati) tidak perlu dilakukan oleh orang Kristen. Karena bagi orang Kristen setelah mati ia kembali berada dalam tangan Tuhan Sang Pencipta bukan menjadi marapu.

Downloads

Download data is not yet available.

References

Batubara, J.M.P.,
1965 Menghadapi Kematian. Surabaya: Yakin

Hiebert, Paul G.,
1985 Antropological Insights for Missionaries. Grand Rapids: Baker Book House

Peku Jawang, Umbu,
1987 Mozaik Pariwisata Nusa Tenggara Timur. Kupang: Dinas Pariwisata

Scheuneman, Volkhard,
1981 Apa Kata Alkitab Tentang Dunia Orang Mati. Batu: Literatur YPPII

Suh Sung Min,
2001 Injil dan Penyembahan Nenek Moyang. Yogyakarta: Medio Presondo

Takaliuang, Pondsius,
1979 Antara Kuasa Gelap dan Kuasa Terang. Batu: Literatur YPPII

Tomatala, Yakub,
2001 Teologia Kontekstualisasi. Malang: Yayasan Penerbit Gandum Mas

Tunggul, Nggodu,
2001 Aspek Budaya Sumba Timur. Kupang: Depertemen P dan K

Wellem, F.D,
2004 Injil dan Marapu. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia

Abstract viewed = 928 times

Citation

Published

2016-10-31

How to Cite

Lu, Y. (2016). TRADISI PEMAKAMAN DALAM MASYARAKAT SUMBA TIMUR SEBAGAI PENDEKATAN KONTEKSTUAL. Missio Ecclesiae, 5(2), 134–152. https://doi.org/10.52157/me.v5i2.62

Issue

Section

Articles